MATARAM. Hari Sabtu (3/10/2020) malam adalah mimpi buruk bagi kita semua sebagai anak bangsa. Saat itu, Badan Legislatif menggelar rapat kerja malam-malam untuk mengambil keputusan tingkat pertama. Suatu peristiwa diluar kebiasaan dan teramat janggal. Itu merupakan suatu anomali yang dilakukan oleh DPR saat membahas UU tersebut. Dan pada akhirnya, di tengah protes masyarakat dan serikat buruh, pemerintah dan DPR tak bergeming. Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja dikebut dan telah sah menjadi undang-undang dalam sidang paripurna parlemen kemarin. Ungkap Koord Cipayung Plus Mataram dalam Press Rilliesnya yang ditandatangani oleh Andreas P Waketi
Upaya rezim Jokowi membendung ‘penolakan publik’ dari berbagai
macam lapisan masyarakat seperti: Civil Society, pers, mahasiswa, koalisi
masyarakat sipil (LSM/NGO) dan organisasi buruh dengan berbagai macam ‘sikap’
dan pendekatan yang cenderung menebarkan ancaman dan seakan ingin mematikan
iklim demokrasi di bangsa ini. Artinya, bisa kita menduga bahwa pemerintah
memang sedang melakukan konspirasi busuk dengan pihak-pihak yang diuntungkan
atas keberadaan UU Cipta Kerja ini.
Sebagai contoh: UU Ciptaker melegitimasi pengusaha dapat menikmati
Hak Guna Usaha (HGU) secara langsung 90 tahun. Padahal sebelum era omnibus law
ciptaker ini: pengusaha hanya bisa mengantongi HGU 25 sampai 35 tahun. Dengan
perpanjangan 25 tahun bila memenuhi sarat. Di kententuan sebelumnya saja,
penguasaan HGU telah banyak membunuh kehidupan masayarakat (perampasan lahan)
dan kriminalisasi negara terhadap rakyat demi menjaga kenyamanan pengusaha.
Tentu saja oligarki yang diistimewakan sementara buruh atau pekerja yang
termarginalkan.
Tujuan Omnibus Law seperti yang diharapkan pemerintah saat ini
untuk mengundang investor datang dan membuka lapangan kerja di Indonesia.
Orientasi utamanya adalah orientasi ekonomi, tapi di sisi lain undang-undang
Ciptaker mengabaikan sektor lain seperti lingkungan, sosial, budaya, bahkan
kesejahteraan pekerja. Ini salah satu alasan kenapa kemudian Omnibus Law banyak
mendapatkan penolakan.
Bagi pekerja perempuan nasibnya lebih parah lagi. Dalam
undang-undang sebelumnya, cuti melahirkan dan cuti haid merupakan hak normatif
yang sudah seharusnya diterima para pekerja. Namun dalam draft Undang-Undang
ini, hak cuti tersebut tidak dicantumkan. Tidak ada pelarangan, namun dengan
tidak dicantumkan hak tersebut mengindikasikan tidak ada jaminan yang diberikan
kepada pekerja perempuan.
Beberapa aturan ‘nyeleneh’ ini jelas merugikan para pekerja.
Kepentingan ekonomi pengusaha mengalahkan kesejahteraan para pekerja yang menjadikan
munculnya perbudakan modern dalam sektor ketenagakerjaan di Indonesia. Indikasi
ini semakin nyata terlihat dalam aturan pemutusan hubungan kerja. Selain karena
tidak ada pesangon bagi pekerja yang terkena PHK, perusahaan juga diberi
keleluasaan untuk melakukan PHK berdasarkan kondisi yang dinilai mereka dapat
merampingkan ongkos produksi perusahaan.
Pasal-pasal kontroversial bermunculan, terutama soal
ketenagakerjaan. Namun, isu lingkungan hidup dalam aturan sapu jagat
itu pun tak kalah pelik. Alih-alih menjamin kelestarian alam, beberapa pasal
justru bertolak belakang dengan hal tersebut dengan dalih menggenjot investasi.
Lagi-lagi, kehadiran UU Cipta Kerja justru lebih banyak memberi dampak
destruktif (merusak) baik itu pada aspek Hak Asasi Manusia dan tentang masa
depan lingkungan.
Secara garis besar, UU Cipta Kerja menghapus, mengubah, dan
menetapkan aturan baru terkait perizinan berusaha yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Pemberian izin lingkungan kini menjadi kewenangan pemerintah
pusat. Pemerintah daerah tidak dapat lagi mengeluarkan rekomendasi izin apapun.
Hal ini tercantum dalam Pasal 24 ayat 1 yang menyebutkan analisis mengenai
dampak lingkungan atau Amdal menjadi dasar uji kelayakan lingkungan hidup oleh
tim dari lembaga uji kelayakan pemerintah pusat.
Berdasarkan berbagai argumentasi di atas, pengesahan UU Cipta
Kerja juga malah menghilangkan kedaulatan negara terhadap sektor atau aset
strategis yang semestinya peran negara di situ dibutuhkan. UU Cipker ini justru
memberikan dan menjamin keleluasaan pada investor-investor (swasta) untuk bebas
menari tapi tidak berorientasi terhadap kesejahteraan rakyat. Seakan negara dan
bangsa ini kehilangan martabat dan harga dirinya karena tidak memiliki kekuatan
untuk melawan koorporasi atau oligarki yang menindas.
Pengesahaan Omnibus Law Cipta Kerja merupakan puncak pengkhianatan
negara terhadap hak buruh, petani, masyarakat adat, perempuan, dan lingkungan
hidup serta generasi mendatang. Pilihan mengesahkan RUU yang tidak mencerminkan
kebutuhan rakyat dan alam merupakan tindakan yang menyimpang dari konstitusi
negara ini.
Oleh karena itu, atas nama pemuda dan anak negeri yang memiliki
kewajiban untuk menjaga martabat bangsa, kami dari Aliansi Cipayung Plus Kota
Mataram HMI, GMKI, KAMMI, KMHDI, IMM, PMKRI dan Hikmabudhi, menyampaikan sikap
sebagai beriukut:
1.
OKP Cipayung Plus
Kota Mataram Menolak Pengesahan RUU Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai
Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law).
2.
OKP Cipayung Plus
menduga ada konspirasi busuk yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan
oligarki yang mengakibatkan kesengsaraan rakyat.
3.
Meminta Presiden
segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang untuk
membatalkan pengesahan Undang-undang Omnibus law.
4.
Apabila
Pemerintah tidak menghiraukan dan menindaklanjuti tuntutan ini, maka kami akan
melakukan langkah Judicial Review berikut aksi turun ke jalan bersama-sama
rakyat sebagai langkah pengawalan hingga UU Cipta Kerja dibatalkan lewat
putusan Mahkamah Konstitusi atau dengan cara lainnya.
Hari Sabtu (3/10/2020) malam adalah mimpi buruk bagi kita semua
sebagai anak bangsa. Saat itu, Badan Legislatif menggelar rapat
kerja malam-malam untuk mengambil keputusan tingkat pertama. Suatu
peristiwa diluar kebiasaan dan teramat janggal. Itu merupakan suatu anomali
yang dilakukan oleh DPR saat membahas UU tersebut. Dan pada akhirnya, di tengah
protes masyarakat dan serikat buruh, pemerintah dan DPR tak
bergeming. Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta
Kerja dikebut dan telah sah menjadi undang-undang dalam sidang
paripurna parlemen kemarin.
Upaya rezim Jokowi membendung ‘penolakan publik’ dari berbagai
macam lapisan masyarakat seperti: Civil Society, pers, mahasiswa, koalisi
masyarakat sipil (LSM/NGO) dan organisasi buruh dengan berbagai macam ‘sikap’
dan pendekatan yang cenderung menebarkan ancaman dan seakan ingin mematikan
iklim demokrasi di bangsa ini. Artinya, bisa kita menduga bahwa pemerintah
memang sedang melakukan konspirasi busuk dengan pihak-pihak yang diuntungkan
atas keberadaan UU Cipta Kerja ini.
Sebagai contoh: UU Ciptaker melegitimasi pengusaha dapat menikmati
Hak Guna Usaha (HGU) secara langsung 90 tahun. Padahal sebelum era omnibus law
ciptaker ini: pengusaha hanya bisa mengantongi HGU 25 sampai 35 tahun. Dengan
perpanjangan 25 tahun bila memenuhi sarat. Di kententuan sebelumnya saja,
penguasaan HGU telah banyak membunuh kehidupan masayarakat (perampasan lahan)
dan kriminalisasi negara terhadap rakyat demi menjaga kenyamanan pengusaha.
Tentu saja oligarki yang diistimewakan sementara buruh atau pekerja yang
termarginalkan.
Tujuan Omnibus Law seperti yang diharapkan pemerintah saat ini
untuk mengundang investor datang dan membuka lapangan kerja di Indonesia.
Orientasi utamanya adalah orientasi ekonomi, tapi di sisi lain undang-undang
Ciptaker mengabaikan sektor lain seperti lingkungan, sosial, budaya, bahkan
kesejahteraan pekerja. Ini salah satu alasan kenapa kemudian Omnibus Law banyak
mendapatkan penolakan.
Bagi pekerja perempuan nasibnya lebih parah lagi. Dalam
undang-undang sebelumnya, cuti melahirkan dan cuti haid merupakan hak normatif
yang sudah seharusnya diterima para pekerja. Namun dalam draft Undang-Undang
ini, hak cuti tersebut tidak dicantumkan. Tidak ada pelarangan, namun dengan
tidak dicantumkan hak tersebut mengindikasikan tidak ada jaminan yang diberikan
kepada pekerja perempuan.
Beberapa aturan ‘nyeleneh’ ini jelas merugikan para pekerja.
Kepentingan ekonomi pengusaha mengalahkan kesejahteraan para pekerja yang menjadikan
munculnya perbudakan modern dalam sektor ketenagakerjaan di Indonesia. Indikasi
ini semakin nyata terlihat dalam aturan pemutusan hubungan kerja. Selain karena
tidak ada pesangon bagi pekerja yang terkena PHK, perusahaan juga diberi
keleluasaan untuk melakukan PHK berdasarkan kondisi yang dinilai mereka dapat
merampingkan ongkos produksi perusahaan.
Pasal-pasal kontroversial bermunculan, terutama soal
ketenagakerjaan. Namun, isu lingkungan hidup dalam aturan sapu jagat
itu pun tak kalah pelik. Alih-alih menjamin kelestarian alam, beberapa pasal
justru bertolak belakang dengan hal tersebut dengan dalih menggenjot investasi.
Lagi-lagi, kehadiran UU Cipta Kerja justru lebih banyak memberi dampak
destruktif (merusak) baik itu pada aspek Hak Asasi Manusia dan tentang masa
depan lingkungan.
Secara garis besar, UU Cipta Kerja menghapus, mengubah, dan
menetapkan aturan baru terkait perizinan berusaha yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Pemberian izin lingkungan kini menjadi kewenangan pemerintah
pusat. Pemerintah daerah tidak dapat lagi mengeluarkan rekomendasi izin apapun.
Hal ini tercantum dalam Pasal 24 ayat 1 yang menyebutkan analisis mengenai
dampak lingkungan atau Amdal menjadi dasar uji kelayakan lingkungan hidup oleh
tim dari lembaga uji kelayakan pemerintah pusat.
Berdasarkan berbagai argumentasi di atas, pengesahan UU Cipta
Kerja juga malah menghilangkan kedaulatan negara terhadap sektor atau aset
strategis yang semestinya peran negara di situ dibutuhkan. UU Cipker ini justru
memberikan dan menjamin keleluasaan pada investor-investor (swasta) untuk bebas
menari tapi tidak berorientasi terhadap kesejahteraan rakyat. Seakan negara dan
bangsa ini kehilangan martabat dan harga dirinya karena tidak memiliki kekuatan
untuk melawan koorporasi atau oligarki yang menindas.
Pengesahaan Omnibus Law Cipta Kerja merupakan puncak pengkhianatan
negara terhadap hak buruh, petani, masyarakat adat, perempuan, dan lingkungan
hidup serta generasi mendatang. Pilihan mengesahkan RUU yang tidak mencerminkan
kebutuhan rakyat dan alam merupakan tindakan yang menyimpang dari konstitusi
negara ini.
Oleh karena itu, atas nama pemuda dan anak negeri yang memiliki
kewajiban untuk menjaga martabat bangsa, kami dari Aliansi Cipayung Plus Kota
Mataram HMI, GMKI, KAMMI, KMHDI, IMM, PMKRI dan Hikmabudhi, menyampaikan sikap
sebagai beriukut:
1.
OKP Cipayung Plus
Kota Mataram Menolak Pengesahan RUU Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai
Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law).
2.
OKP Cipayung Plus
menduga ada konspirasi busuk yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan
oligarki yang mengakibatkan kesengsaraan rakyat.
3.
Meminta Presiden
segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang untuk
membatalkan pengesahan Undang-undang Omnibus law.
4.
Apabila
Pemerintah tidak menghiraukan dan menindaklanjuti tuntutan ini, maka kami akan
melakukan langkah Judicial Review berikut aksi turun ke jalan bersama-sama
rakyat sebagai langkah pengawalan hingga UU Cipta Kerja dibatalkan lewat
putusan Mahkamah Konstitusi atau dengan cara lainnya.