Aksi Tolak Omnibuslaw Pecah, OKP dan Ormawa Cipayung Plus Kepung DPRD NTB

Advertisement

Aksi Tolak Omnibuslaw Pecah, OKP dan Ormawa Cipayung Plus Kepung DPRD NTB

Kalingga
Kamis, 08 Oktober 2020

 


MATARAM. Hari Sabtu (3/10/2020) malam adalah mimpi buruk bagi kita semua sebagai anak bangsa. Saat itu, Badan Legislatif menggelar rapat kerja malam-malam untuk mengambil keputusan tingkat pertama. Suatu peristiwa diluar kebiasaan dan teramat janggal. Itu merupakan suatu anomali yang dilakukan oleh DPR saat membahas UU tersebut. Dan pada akhirnya, di tengah protes masyarakat dan serikat buruh, pemerintah dan DPR tak bergeming. Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja dikebut dan telah sah menjadi undang-undang dalam sidang paripurna parlemen kemarin. Ungkap Koord Cipayung Plus Mataram dalam Press Rilliesnya yang ditandatangani oleh Andreas P Waketi

Upaya rezim Jokowi membendung ‘penolakan publik’ dari berbagai macam lapisan masyarakat seperti: Civil Society, pers, mahasiswa, koalisi masyarakat sipil (LSM/NGO) dan organisasi buruh dengan berbagai macam ‘sikap’ dan pendekatan yang cenderung menebarkan ancaman dan seakan ingin mematikan iklim demokrasi di bangsa ini. Artinya, bisa kita menduga bahwa pemerintah memang sedang melakukan konspirasi busuk dengan pihak-pihak yang diuntungkan atas keberadaan UU Cipta Kerja ini.

Sebagai contoh: UU Ciptaker melegitimasi pengusaha dapat menikmati Hak Guna Usaha (HGU) secara langsung 90 tahun. Padahal sebelum era omnibus law ciptaker ini: pengusaha hanya bisa mengantongi HGU 25 sampai 35 tahun. Dengan perpanjangan 25 tahun bila memenuhi sarat. Di kententuan sebelumnya saja, penguasaan HGU telah banyak membunuh kehidupan masayarakat (perampasan lahan) dan kriminalisasi negara terhadap rakyat demi menjaga kenyamanan pengusaha. Tentu saja oligarki yang diistimewakan sementara buruh atau pekerja yang termarginalkan.

Tujuan Omnibus Law seperti yang diharapkan pemerintah saat ini untuk mengundang investor datang dan membuka lapangan kerja di Indonesia. Orientasi utamanya adalah orientasi ekonomi, tapi di sisi lain undang-undang Ciptaker mengabaikan sektor lain seperti lingkungan, sosial, budaya, bahkan kesejahteraan pekerja. Ini salah satu alasan kenapa kemudian Omnibus Law banyak mendapatkan penolakan.

Bagi pekerja perempuan nasibnya lebih parah lagi. Dalam undang-undang sebelumnya, cuti melahirkan dan cuti haid merupakan hak normatif yang sudah seharusnya diterima para pekerja. Namun dalam draft Undang-Undang ini, hak cuti tersebut tidak dicantumkan. Tidak ada pelarangan, namun dengan tidak dicantumkan hak tersebut mengindikasikan tidak ada jaminan yang diberikan kepada pekerja perempuan.

 

Beberapa aturan ‘nyeleneh’ ini jelas merugikan para pekerja. Kepentingan ekonomi pengusaha mengalahkan kesejahteraan para pekerja yang menjadikan munculnya perbudakan modern dalam sektor ketenagakerjaan di Indonesia. Indikasi ini semakin nyata terlihat dalam aturan pemutusan hubungan kerja. Selain karena tidak ada pesangon bagi pekerja yang terkena PHK, perusahaan juga diberi keleluasaan untuk melakukan PHK berdasarkan kondisi yang dinilai mereka dapat merampingkan ongkos produksi perusahaan.

Pasal-pasal kontroversial bermunculan, terutama soal ketenagakerjaan. Namun, isu lingkungan hidup dalam aturan sapu jagat itu pun tak kalah pelik. Alih-alih menjamin kelestarian alam, beberapa pasal justru bertolak belakang dengan hal tersebut dengan dalih menggenjot investasi. Lagi-lagi, kehadiran UU Cipta Kerja justru lebih banyak memberi dampak destruktif (merusak) baik itu pada aspek Hak Asasi Manusia dan tentang masa depan lingkungan.

Secara garis besar, UU Cipta Kerja menghapus, mengubah, dan menetapkan aturan baru terkait perizinan berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pemberian izin lingkungan kini menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak dapat lagi mengeluarkan rekomendasi izin apapun. Hal ini tercantum dalam Pasal 24 ayat 1 yang menyebutkan analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal menjadi dasar uji kelayakan lingkungan hidup oleh tim dari lembaga uji kelayakan pemerintah pusat.

Berdasarkan berbagai argumentasi di atas, pengesahan UU Cipta Kerja juga malah menghilangkan kedaulatan negara terhadap sektor atau aset strategis yang semestinya peran negara di situ dibutuhkan. UU Cipker ini justru memberikan dan menjamin keleluasaan pada investor-investor (swasta) untuk bebas menari tapi tidak berorientasi terhadap kesejahteraan rakyat. Seakan negara dan bangsa ini kehilangan martabat dan harga dirinya karena tidak memiliki kekuatan untuk melawan koorporasi atau oligarki yang menindas.

Pengesahaan Omnibus Law Cipta Kerja merupakan puncak pengkhianatan negara terhadap hak buruh, petani, masyarakat adat, perempuan, dan lingkungan hidup serta generasi mendatang. Pilihan mengesahkan RUU yang tidak mencerminkan kebutuhan rakyat dan alam merupakan tindakan yang menyimpang dari konstitusi negara ini.

Oleh karena itu, atas nama pemuda dan anak negeri yang memiliki kewajiban untuk menjaga martabat bangsa, kami dari Aliansi Cipayung Plus Kota Mataram HMI, GMKI, KAMMI, KMHDI, IMM, PMKRI dan Hikmabudhi, menyampaikan sikap sebagai beriukut:

1.       OKP Cipayung Plus Kota Mataram Menolak Pengesahan RUU Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law).

2.       OKP Cipayung Plus menduga ada konspirasi busuk yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan oligarki yang mengakibatkan kesengsaraan rakyat.

3.       Meminta Presiden segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang untuk membatalkan pengesahan Undang-undang Omnibus law.

4.       Apabila Pemerintah tidak menghiraukan dan menindaklanjuti tuntutan ini, maka kami akan melakukan langkah Judicial Review berikut aksi turun ke jalan bersama-sama rakyat sebagai langkah pengawalan hingga UU Cipta Kerja dibatalkan lewat putusan Mahkamah Konstitusi atau dengan cara lainnya.

Hari Sabtu (3/10/2020) malam adalah mimpi buruk bagi kita semua sebagai anak bangsa. Saat itu, Badan Legislatif menggelar rapat kerja malam-malam untuk mengambil keputusan tingkat pertama. Suatu peristiwa diluar kebiasaan dan teramat janggal. Itu merupakan suatu anomali yang dilakukan oleh DPR saat membahas UU tersebut. Dan pada akhirnya, di tengah protes masyarakat dan serikat buruh, pemerintah dan DPR tak bergeming. Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja dikebut dan telah sah menjadi undang-undang dalam sidang paripurna parlemen kemarin.

Upaya rezim Jokowi membendung ‘penolakan publik’ dari berbagai macam lapisan masyarakat seperti: Civil Society, pers, mahasiswa, koalisi masyarakat sipil (LSM/NGO) dan organisasi buruh dengan berbagai macam ‘sikap’ dan pendekatan yang cenderung menebarkan ancaman dan seakan ingin mematikan iklim demokrasi di bangsa ini. Artinya, bisa kita menduga bahwa pemerintah memang sedang melakukan konspirasi busuk dengan pihak-pihak yang diuntungkan atas keberadaan UU Cipta Kerja ini.

Sebagai contoh: UU Ciptaker melegitimasi pengusaha dapat menikmati Hak Guna Usaha (HGU) secara langsung 90 tahun. Padahal sebelum era omnibus law ciptaker ini: pengusaha hanya bisa mengantongi HGU 25 sampai 35 tahun. Dengan perpanjangan 25 tahun bila memenuhi sarat. Di kententuan sebelumnya saja, penguasaan HGU telah banyak membunuh kehidupan masayarakat (perampasan lahan) dan kriminalisasi negara terhadap rakyat demi menjaga kenyamanan pengusaha. Tentu saja oligarki yang diistimewakan sementara buruh atau pekerja yang termarginalkan.

Tujuan Omnibus Law seperti yang diharapkan pemerintah saat ini untuk mengundang investor datang dan membuka lapangan kerja di Indonesia. Orientasi utamanya adalah orientasi ekonomi, tapi di sisi lain undang-undang Ciptaker mengabaikan sektor lain seperti lingkungan, sosial, budaya, bahkan kesejahteraan pekerja. Ini salah satu alasan kenapa kemudian Omnibus Law banyak mendapatkan penolakan.

Bagi pekerja perempuan nasibnya lebih parah lagi. Dalam undang-undang sebelumnya, cuti melahirkan dan cuti haid merupakan hak normatif yang sudah seharusnya diterima para pekerja. Namun dalam draft Undang-Undang ini, hak cuti tersebut tidak dicantumkan. Tidak ada pelarangan, namun dengan tidak dicantumkan hak tersebut mengindikasikan tidak ada jaminan yang diberikan kepada pekerja perempuan.

 

Beberapa aturan ‘nyeleneh’ ini jelas merugikan para pekerja. Kepentingan ekonomi pengusaha mengalahkan kesejahteraan para pekerja yang menjadikan munculnya perbudakan modern dalam sektor ketenagakerjaan di Indonesia. Indikasi ini semakin nyata terlihat dalam aturan pemutusan hubungan kerja. Selain karena tidak ada pesangon bagi pekerja yang terkena PHK, perusahaan juga diberi keleluasaan untuk melakukan PHK berdasarkan kondisi yang dinilai mereka dapat merampingkan ongkos produksi perusahaan.

Pasal-pasal kontroversial bermunculan, terutama soal ketenagakerjaan. Namun, isu lingkungan hidup dalam aturan sapu jagat itu pun tak kalah pelik. Alih-alih menjamin kelestarian alam, beberapa pasal justru bertolak belakang dengan hal tersebut dengan dalih menggenjot investasi. Lagi-lagi, kehadiran UU Cipta Kerja justru lebih banyak memberi dampak destruktif (merusak) baik itu pada aspek Hak Asasi Manusia dan tentang masa depan lingkungan.

Secara garis besar, UU Cipta Kerja menghapus, mengubah, dan menetapkan aturan baru terkait perizinan berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pemberian izin lingkungan kini menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak dapat lagi mengeluarkan rekomendasi izin apapun. Hal ini tercantum dalam Pasal 24 ayat 1 yang menyebutkan analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal menjadi dasar uji kelayakan lingkungan hidup oleh tim dari lembaga uji kelayakan pemerintah pusat.

Berdasarkan berbagai argumentasi di atas, pengesahan UU Cipta Kerja juga malah menghilangkan kedaulatan negara terhadap sektor atau aset strategis yang semestinya peran negara di situ dibutuhkan. UU Cipker ini justru memberikan dan menjamin keleluasaan pada investor-investor (swasta) untuk bebas menari tapi tidak berorientasi terhadap kesejahteraan rakyat. Seakan negara dan bangsa ini kehilangan martabat dan harga dirinya karena tidak memiliki kekuatan untuk melawan koorporasi atau oligarki yang menindas.

Pengesahaan Omnibus Law Cipta Kerja merupakan puncak pengkhianatan negara terhadap hak buruh, petani, masyarakat adat, perempuan, dan lingkungan hidup serta generasi mendatang. Pilihan mengesahkan RUU yang tidak mencerminkan kebutuhan rakyat dan alam merupakan tindakan yang menyimpang dari konstitusi negara ini.

Oleh karena itu, atas nama pemuda dan anak negeri yang memiliki kewajiban untuk menjaga martabat bangsa, kami dari Aliansi Cipayung Plus Kota Mataram HMI, GMKI, KAMMI, KMHDI, IMM, PMKRI dan Hikmabudhi, menyampaikan sikap sebagai beriukut:

1.       OKP Cipayung Plus Kota Mataram Menolak Pengesahan RUU Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law).

2.       OKP Cipayung Plus menduga ada konspirasi busuk yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan oligarki yang mengakibatkan kesengsaraan rakyat.

3.       Meminta Presiden segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang untuk membatalkan pengesahan Undang-undang Omnibus law.

4.       Apabila Pemerintah tidak menghiraukan dan menindaklanjuti tuntutan ini, maka kami akan melakukan langkah Judicial Review berikut aksi turun ke jalan bersama-sama rakyat sebagai langkah pengawalan hingga UU Cipta Kerja dibatalkan lewat putusan Mahkamah Konstitusi atau dengan cara lainnya.