Pemdes Baktiseraga Sukses Memanfaatkan sampah kompos di urban Farming |
Visirakyat (Opini) -- Geliat Bank Sampah di Pedesaan sangat tentu jarang terdengar beberapa tahun terakhir. Sejuta harapan dari upaya membersihkan desa dari sampah plastik dengan beberapa peraturan sakti yang diturunkan pemerintah pusat dan daerah sepertinya masih minim pembinaan terutama di kementrian kehutanan dan Lingkungan Hidup.
Seperti kampanye kampanye anti sampah plastik. Mainstream ancaman sampah akibat pertumbuhan penduduk yang dibarengi gaya konsumtif masyarakat yang gemar "mengoleksi" plastik dalam kesehariannya.
Ketika program ini diluncurkan dengan dukungan anggaran, tentunya menggairahkan masyarakat untuk berlomba lomba menyalurkan sampah plastiknya ke bank sampah, jika tidak hanya berbekal semangat pengurus bank sampah harus jemput bola door to door.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya mengakui tantangan persoalan sambah di Indonesia masih sangat besar. Jumlah timbulan sampah pun menurutnya, dalam setahun sekitar 67,8 juta ton, dan akan terus bertambah seiring pertumbuhan jumlah penduduk.
Sebagai bukti keseriusan misalnya pemerintah daerah menyiapkan bank sampah dengan bantuan mesin pengolah sampah mini. Mesin ini diharapkan mampu mencacah sampah organik dan an organik.
Namun, dibeberapa provinsi dan kabupaten justru gelontoran mesin ini mangkrak, sebab kurangnya pembinaan, dan kurangnya minat pemerintah untuk menyuntik biaya operasional awal untuk menghidupkan mesin yang digelontorkan oleh pemerintah. Logika dari mana mesin diturunkan kemampuan operasioanal minim?
Beda halnya dengan Bank Sampah yang masih berjalan poco poco, yang penting berjalan, mereka masih aktif mengoleksi dan menyisihkan sampah sampah plastik dengan menjual sampah sampah pilihan sisanya dijadikan kompos yang bernilai guna bagi pertanian lokal. Hasil akhir yang tidak mungkin di kelola dikembalikan ke TPA.
Beragam ide muncul dari sampahisasi mulai dari mendirikan PLTSa yakni pembangkit listrik tenaga sampah, mendaur ulang sampah dengan teknik tradisonal dan mekanis memanfaatkan beebagai terapan biologis dan mesin mesin canggih.
Sayangnya, hal ini masih dalam cerita dalam mimpi indah. Sebagian kecil yang masih bergeliat memanfaatkan cuan satu dua rupiah untukengeksiskan keberadaan bank sampah.
Seperti contoh bank sampah yang sukses dikelola hilir dan hulu di Desa Baktiseraga dan Desa Adat Pohbergong Buleleng Bali.
" Desa kami ingin zero waste, tanpa residu ke TPA arah itu sedang kami upayakan, untuk sampah plastik dan organik sudah terkelola, desa kami terkepung drmografi perkotaan, banyak BTN dan Lokasi wisata yang membuat timndi desa bekerja keras, " Ujar Kades Baktiseraga I Gusti Putu Armada yang sukses mencetus Hutan Kota dan Urban Farming.
TPS3R Di Pemdes Baktiseraga bahkan menjadi percontohan bagi desa desa lain di Bali.
Pemanfaatan sampah organiknya digunakan sebagai kompos oleh ibu ibu PKK untuk memelihara tanaman sayur mayur dalam urban farming. Sebuah konsep pertanian desa yang kini terkepung perkotaan. Alur sampah yang diserap dari masyarakat setelah dipilah kemudian di bagi menjadi sampah organik dan anorganik. Urban farming memanfaatkan kompos, dari pertanian menghasilkan sayur mayur organik. Sedangkan sisa yang tidak bisa diolah dikembalikan ke TPA.
Di Desa Adat Pohbergong juga demikian setelah bank sampah menimbang mengkompensasi sampah plastik kepada masyarakat, sisanya dibuang ke TPA. Residu sampah organiknya akan digerakkan setelah cukup modal dan sdm bank sampah guna membeli mesin secara mandiri.
" Kami sementara masih berusaha secara mandiri untuk mesin sampah organik agar komposnya bisa dimanfaatkan masyarakat kami," ujar Kadek Seni Mayura, Dirut Bank Sampah Desa Adat Pohbergong yang diiyakan pemgurusnya Ketut Somayasa.
Sampah perkotaan memang menjadi momok bagi pemerintah, sampah pedesaan menjadi momok bagi masyarakat, tapi hal ini tidak akan terjadi jika ada kampanye kesadaran serta punishment bagi pemelihara sampah plastik yang merusak lingkungan.
Hal lain yang menyedihkan adalah dibeberapa wilayah yang sudah diberikan bantuan mesin sampah, belum mampu memanfaatkan mesin itu sebab kurangnya SDM dan mahalnya biaya operasional serta pemeliharaan.
Pekerjaan ini tidak disatu pundak, ancaman sampah adalah nyata, pundak pundak pemimpin desa dan dinas terkait jangan kendor membiarkan bencana bernama sampah akan mengaduk kenyamanan ekosistem alam dan habitat manusia. Jadi kita tunggu aksi nyata bagaimana KLH dan Kemendes memahami dan menjalankan tupoksi mereka dari Hulu hilir mensejahterakan rakyat pedesaan. (Red)